There is no meaning to life except the meaning man gives his life by the unfolding of his powers - Erich Fromm
Hidup di kawasan pinggiran kota punya ritme yang unik. Enggak terlalu rame kayak kota besar, tapi juga enggak benar-benar sunyi. Hampir setahun terakhir aku menjalani pekerjaan secara remote-bekerja dari jarak jauh. Bekerja secara remote ternyata memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri. Dan biasanya aku memulai hari dengan membuka laptop di ruangan kecil yang aku 'sulap' jadi ruang kerja.
Aku tinggal bersama orang tua di rumah sederhana. Kehidupan ini cukup nyaman, tapi juga kadang terasa kosong. Aku bekerja dari rumah, sesekali ke kafe untuk mencari suasana baru sambil menikmati kopi hitam. Namun, meskipun hidup tampak tenang, ada perasaan mengganjal yang sulit diabaikan.
Salah satu kelebihan bekerja secara remote adalah fleksibilitas. Aku enggak perlu bangun pagi-pagi dan bergelut dengan macet seperti teman-temanku yang bekerja di kota. Tapi, kebebasan itu juga membawa konsekuensi.
Pernah suatu hari, aku selesai meeting pagi. Rasanya lega karena enggak ada tenggat waktu yang mendesak, tapi di sisi lain, aku merasa hampa. Aku sadar, sepanjang hari itu aku tidak berbicara dengan siapa pun. Orang tua sibuk dengan aktivitas mereka, dan aku hanya berinteraksi dengan layar laptop.
Banyak temanku yang bekerja di kota sering mengeluh tentang macet atau rekan kerja yang menyebalkan. Tapi, di balik semua itu, mereka punya cerita, pengalaman, dan tawa bersama. Sementara aku? Kadang, satu-satunya tawa yang kudengar adalah dari video YouTube yang kutonton saat istirahat.
Aku mencoba memperbaiki situasi ini. Sejak beberapa minggu terakhir, aku mulai rutin ke kafe untuk bekerja. Suasana kafe dengan suara mesin kopi dan obrolan ringan orang-orang di sana memberiku sedikit hiburan. Tapi, tetap saja, aku jarang berbicara dengan orang lain.
Ada satu kejadian yang membuatku merenung. Saat itu, aku sedang bekerja di kafe. Seorang pria di meja ujung ngobrol dengan temannya tentang proyek yang mereka kerjakan di kantor. Aku hanya duduk diam, tetap lakukan pekerjaanku namun suara mereka terus terdengar samar-samar dari jauh. Rasanya ada rasa iri kecil muncul. Mereka berbagi ide, bercerita, dan tertawa, sesuatu yang jarang aku rasakan dalam pekerjaanku.
Ketika aku pulang ke rumah sore itu, sambil dijalan, aku bertanya pada diriku sendiri, "Apa aku benar-benar menikmati pekerjaan ini? Atau aku hanya bertahan karena nyaman?"
Beberapa waktu kemudian, aku mencoba mencari cara untuk lebih terhubung dengan dunia luar. Aku mulai ikut beberapa komunitas berbasis hobi di Medan. Enggak cuma itu, aku mulai bermain lebih sering dengan keponakanku. Anak-anak punya cara unik untuk membuat segalanya terasa ringan. Tawa mereka mengingatkanku bahwa kebahagiaan sering kali datang dari hal-hal sederhana.
Namun, konflik lain muncul. Aku merasa waktuku jadi terbagi. Kadang aku merasa bersalah ketika harus menolak ajakan bermain mereka karena pekerjaanku belum selesai. Di sisi lain, aku juga merasa bahwa waktu bersama mereka adalah salah satu hal yang membuat pekerjaanku terasa berarti.
Setelah mencoba lebih banyak berinteraksi, aku akhirnya kembali lagi ke rutinitas bekerja dari rumah. Kali ini, aku mencoba menyesuaikan dengan lebih baik. Aku mulai membuat jadwal yang lebih teratur, menyisipkan waktu istirahat untuk tidur siang ataupun jalan-jalan di sekitar rumah. Tapi tetap saja, ada rasa sepi yang sulit dihilangkan.
Aku sadar, koneksi yang kurindukan tidak bisa sepenuhnya digantikan dengan layar.
Suatu malam, aku duduk di teras rumah sambil memandang langit. Aku melamun. Pikiranku terbang kesana-kemari. Aku memikirkan semua hal yang kurasakan selama ini. Pekerjaan remote punya banyak kelebihan, tapi juga banyak kekurangannya.
Dan aku sadar bahwa enggak semua hal bisa sempurna. Aku belajar untuk lebih bersyukur atas hal-hal kecil: kebebasan mengatur waktu, momen bersama keluarga, dan kesempatan untuk melamun sambil menikmati kopi di kafe.
Aku juga menyadari bahwa bekerja di kantor atau remote, keduanya punya tantangan masing-masing. Teman-temanku yang bekerja di kota sering kali iri dengan fleksibilitasku, sementara aku iri dengan interaksi sosial mereka.
Pada akhirnya, makna dari pekerjaan tidak datang dari di mana kita bekerja, tapi dari bagaimana kita menjalani dan memaknainya.
Kini, aku mencoba lebih fokus pada apa yang ingin kucapai dalam hidup, bukan hanya dalam pekerjaan. Aku berusaha menciptakan keseimbangan, baik itu dalam rutinitas kerja, hubungan dengan keluarga, atau waktu untuk diriku sendiri.
Aku mulai menyadari, bahwa bahkan dalam kesendirian, ada pelajaran yang bisa diambil. Dalam kebebasan, ada tanggung jawab yang harus dijalani. Dan dalam setiap langkah kecil, ada makna yang menunggu untuk ditemukan.
Hidup di pinggiran kota mengajarkanku bahwa kebahagiaan sering kali ditemukan di tengah-tengah, bukan di ekstrem. Di antara hiruk-pikuk kota dan ketenangan rumah, ada ruang untuk menemukan diri sendiri.
Ultimately, man should not ask what the meaning of his life is, but rather must recognize that it is he who is asked.- Viktor Frankl
Komentar
Posting Komentar